#3 Edge of Desire
17.5.13
![]() |
Source |
Sella menaiki anak tangga terakhir yang membawanya naik ke Mostach Coffee Shop. Ia celingukan memandang sekeliling ruangan mencari sosok Dinda. Tak lama kemudian matanya menangkap sosok perempuan dengan panjang rambut sebahu berwarna merah menyala: Dinda. Dengan langkah setengah diseret, Sella mendekati Dinda dan langsung menduduki kursi kosong di hadapannya. Persis ketika Sella duduk, Dinda meletakan ponsel dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan takjub. Ia tidak lagi mengenalinya.
“Sorry to say, tapi sumpah,
tampang lo ancur banget...”
Sella tersenyum hambar. “Ah, gue
udah nggak peduli lagi, Din... Lo habis ngerokok ya?” Sella memperhatikan
asbak berisi puntung rokok yang tampak masih mengeluarkan sedikit asap.
“Iya, iseng.”
“Oh...” Sella mengangguk. Ia lupa
kalau sahabatnya itu hanya merokok ketika ia dalam keadaan gelisah.
“Elo... baik-baik aja kan, Sell?
Udah makan? Pesen makan dulu ya...” Dinda melambaikan tangan memanggil
pramusaji. Yang ditawari malah asyik melamun, mengamati seorang anak kecil yang
baru datang dari lantai bawah.
Anak lelaki itu berusia empat
atau lima tahun. Rambut ikalnya yang gondrong bergoyang seiring dengan langkah
riangnya yang kecil-kecil. Ayah anak itu berjalan tepat di belakangnya, sorot
matanya tak lepas dari anaknya, mengawasinya seperti sorot mata elang yang
memperhatikan calon mangsanya: tegas, fokus, dan tak terdistraksi. Anak kecil
itu lalu mendekat ke sebuah sofa, ia melompat-lompat dan membuat rambut ikalnya bergoyang naik turun. Ayah
anak itu lalu menggendong si anak lelaki dan menaruhnya duduk diatas sofa.
“Silakan.” Suara pramusaji yang
menyodorkan menu mengalihkan perhatian Sella dari anak lelaki itu.
“Hot Moccacino satu...” Sella
menjawab si pramusaji tanpa menerima buku menu. Salah tingkah, pramusaji itu
menarik kembali menu yang ia sodorkan dan mencatat pesanan Sella. Ia lalu
berlalu ke dapur.
“Makannya?” tanya Dinda.
Sella menggeleng. “Gue nggak
laper...”
Dinda menyerah. “Iya deh,
terserah lo.” Ia lalu kembali menatap layar ponselnya yang baru saja berkedip.
Mereka lalu diam. Jeda diam yang canggung
dan terlalu lama untuk dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Pemecah
keheningan yang ada diantara mereka hanya suara Regina Spektor yang mengalun
lembut dari speaker yang terletak di sudut atas dinding Mostach. Tidak ada yang
ingin memulai percakapan walaupun sebenarnya masing-masing dari mereka punya
sesuatu untuk disampaikan. Sella dengan berjuta pertanyaan yang belum ada
jawabannya, Dinda dengan sejuta penjelasan yang tidak ada akhirnya.
“Maaf ya...” Akhirnya Sella
angkat bicara. “Kemarin malem gue bingung, nggak tau lagi mau cerita sama
siapa...”
Dinda mengangguk.
Ia adalah orang pertama yang Sella hubungi setelah pertengkarannya dengan Armand. Pukul dua pagi itu Dinda masih berada di salah satu klub di Metropolis, menghabiskan malam dengan ikut larut dalam lantunan musik-musik pemecah gendang telinga. Pikirannya setengah sadar ketika Sella meneleponnya malam itu. Tapi untunglah alkohol yang merasuki sel darahnya masih kalah kuat dengan staminanya pagi itu. Melihat nama Sella tertera di layar ponselnya, Dinda tahu ada yang sedang tidak beres. Sekuat tenaga ia lalu mengangkat dirinya keluar klub dan menjawab panggilan telepon Sella.
“Armand benar ngomong gitu?”
tanya Dinda dengan nada sedikit tidak percaya.
Benar saja, di ujung telepon Sella menangis. Napasnya tersengal, setiap kata yang ia ucapkan mengiris batin Dinda. Ia juga kenal Armand cukup lama. Cukup tahu kalau lelaki tinggi-atletis itu tidak akan pernah menyakiti hati perempuan manapun. Apalagi dengan sayatan kata-kata yang barusan diceritakan oleh Sella, istrinya.
Sella mengangguk. Terlalu sulit
untuk menceritakan ulang tapi terlalu mudah untuk mengingat gambaran kejadian
semalam yang kembali menghantuinya. Serpihan kaca vas bunga, telunjuk Armand
yang tegas menunjuk-nunjuk Sella di depan matanya, garis urat yang tampak di
pelipis Armand ketika ia berteriak, cincin pengikat janji setia mereka yang
dengan mudah ia buang ke luar jendela...
“Dia ingin kami pisah... Armand
udah nggak mau lagi nunda untuk punya baby. Sedangkan bulan depan gue udah
harus berangkat ke Aussie buat S2. Dia pura-pura lupa kali sama rencana dan
komitmen sebelum nikah kita untuk punya baby dua tahun lagi, setelah gue beres
S2.” Sella berkata dengan nada yang berapi-api. Dua belas tahun mengenal Sella,
Dinda cukup tahu kalau perempuan bermata besar ini tidak bisa menolerir orang
yang menelan lagi kata-kata yang telah diucapkannya.
“Lo kenapa nggak ngikutin
keinginan Armand?” pelan, Dinda memberanikan diri bertanya.
“Lah, kenapa Armand yang nggak
mau nunggu dua tahun lagi?” Sella balik bertanya. “Ini udah kesepakatan kita
sebelum nikah, Din. Dia udah sumpah bakal nunggu gue S2 dulu sebelum ngejalanin
program baby, dan dia fine-fine aja.”
Duk-duk-duk-duk. Hak Louboutin
Dinda makin cepat menghentak-hentak lantai kayu.
“Trus kenapa dia jadi berubah
pikiran gitu?”
Sella menggeleng. “Nggak tau. Udah
dari lima bulan ini gue ngerasa ada yang aneh di diri Armand. Dia jadi makin
sewot kalau kita lagi ngomongin baby. Dia juga jadi makin pendiam. Gue tahu
kantornya lagi ada masalah. Tapi tetep aja gue ngerasa ada yang hilang dari
Armand yang gue kenal dulu... Terlalu banyak ‘kenapa’ di diri Armand yang nggak
bisa gue jawab dan gue cari penyebabnya.”
Sella mengalihkan tatapannya ke
ujung ruangan, kembali memandang si anak kecil beramut keriting yang kini
sedang makan semangkuk es krim bersama ayahnya. Tak lama, pandangan matanya
makin kabur, Sella tak lagi mampu menahan bendungan airmatanya. “Lo tau, gue bakal
mengabulkan permintaannya...” ucapnya sambil terisak.
Dinda membelalak, kakinya tak
lagi menghentak-hentak lantai. Ia tidak tahu Sella akan memutuskan menyerah
pada pendiriannya secepat itu. Sella adalah orang dengan pendirian yang kuat,
ia tahu itu. Tapi jika permasalahan sudah menyangkut Armand, mungkin Sella akan
melakukan apa saja, termaksuk melepaskan obsesinya untuk belajar di negeri
kanguru demi mewujudkan keinginan Armand untuk punya...
“... gue memutuskan untuk pisah.”
Dinda terhempas dari duduk
tegaknya. Ia kehilangan kata-kata terhadap keputusan Sella, keputusan yang berlawanan
dari apa yang dipikirkannya.
Sella mengusap kedua pipinya yang
penuh dengan airmata dengan kedua tangannya. “Gue nyerah...”
Lalu mereka tidak berkata-kata
untuk waktu yang cukup lama. Yang terdengar lagi-lagi hanya lirik lagu lirih
yang keluar dari kotak pengeras suara...
“...Love is really nothing
But a dream that keeps waking me
For all of my trying
We still end up of dying
How can it be?”
“Itu... jaket Armand, kan?”
Sella mengangguk. “Juga hal
terakhir tentangnya yang ada di diri gue.”
[3...]
Baca cerita sebelumnya disini
0 comment(s)
So, what do you think? Leave your comments below!